bestmedia.id – Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), banyak daerah di Indonesia mulai dipenuhi reklame dan baliho bakal pasangan calon (paslon) yang menampilkan wajah-wajah kandidat beserta slogannya. Keberadaan reklame tersebut memunculkan pertanyaan di kalangan masyarakat tentang apa yang sebenarnya boleh dan tidak boleh dilakukan dalam masa persiapan Pilkada. Bahkan, banyak yang bertanya, mengapa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tampak “diam” dalam menghadapi fenomena ini? Apakah reklame bakal paslon tersebut melanggar aturan, atau justru berada di area abu-abu yang sulit diatur?
Artikel ini akan mengulas mengapa Bawaslu tampak tidak dapat menindak reklame bakal paslon Pilkada, aturan-aturan yang berlaku, serta implikasi yang mungkin terjadi di masyarakat akibat dari keberadaan reklame-reklame ini.
1. Pahami Tahapan Kampanye Pilkada dan Kewenangan Bawaslu
Salah satu alasan utama mengapa Bawaslu tidak bisa menindak reklame bakal paslon Pilkada adalah karena tahapan kampanye yang sebenarnya belum dimulai. Menurut peraturan KPU, tahapan kampanye resmi baru dimulai setelah penetapan calon oleh KPU setempat, yang biasanya dilakukan beberapa bulan sebelum hari pemungutan suara. Sebelum tahapan kampanye ini dimulai, bakal pasangan calon dianggap belum sah sebagai calon tetap sehingga segala bentuk aktivitas “sosialisasi diri” belum termasuk dalam kategori kampanye resmi yang bisa ditindak Bawaslu.
Bawaslu memang memiliki kewenangan mengawasi tahapan pemilu, termasuk Pilkada, tetapi hanya ketika sudah ada calon tetap yang resmi ditetapkan. Selama periode sebelum penetapan ini, Bawaslu tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menindak aktivitas reklame bakal paslon karena belum ada pelanggaran kampanye yang tercantum dalam peraturan KPU. Hal ini membuat reklame yang berisi sosialisasi atau perkenalan diri bakal paslon menjadi abu-abu dalam konteks hukum pemilu.
2. Sosialisasi atau Kampanye Terselubung? Reklame di Area Abu-Abu
Munculnya reklame atau baliho bakal paslon ini sering kali dianggap oleh masyarakat sebagai bentuk kampanye terselubung, meskipun pihak bakal paslon kerap menyebutnya sebagai “sosialisasi diri.” Istilah sosialisasi ini sendiri tidak diatur secara spesifik dalam undang-undang pemilu, sehingga banyak bakal paslon yang memanfaatkan celah ini untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat jauh sebelum masa kampanye resmi dimulai.
Reklame yang menampilkan bakal paslon biasanya hanya berisi slogan, visi-misi singkat, atau perkenalan singkat tanpa ajakan langsung untuk memilih. Hal ini membuat reklame tersebut sulit dikategorikan sebagai kampanye secara legal. Meski begitu, pengaruhnya jelas terasa sebagai upaya membangun popularitas di masyarakat, yang tentunya menguntungkan bagi bakal paslon ketika masuk ke tahapan kampanye resmi.
Dalam situasi ini, Bawaslu harus berhati-hati karena tidak ada payung hukum yang tegas melarang aktivitas “sosialisasi diri” bakal paslon sebelum masa kampanye. Hal ini sering kali memunculkan kebingungan di masyarakat yang merasa bahwa aktivitas sosialisasi tersebut seperti kampanye, tetapi Bawaslu tidak bisa bertindak lebih jauh.
3. Peran Pemerintah Daerah dan Penertiban Reklame
Walaupun Bawaslu tidak memiliki kewenangan untuk menindak reklame bakal paslon di luar masa kampanye, pihak pemerintah daerah sebenarnya memiliki otoritas terkait penertiban reklame. Pemerintah daerah, melalui dinas-dinas terkait seperti Dinas Perhubungan atau Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), memiliki aturan mengenai izin pemasangan reklame di wilayahnya.
Jika reklame bakal paslon dipasang tanpa izin atau melanggar peraturan tata ruang, pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menindak dan menurunkan reklame tersebut. Namun, dalam praktiknya, banyak reklame bakal paslon yang sengaja dipasang di lokasi-lokasi strategis dengan mematuhi perizinan yang ada. Hal ini membuat pemerintah daerah tidak memiliki dasar untuk menertibkan reklame-reklame tersebut selama izin pemasangannya lengkap.
Di beberapa daerah, pemerintah daerah berusaha menindak reklame bakal paslon yang dianggap mengganggu ketertiban umum atau melanggar estetika kota. Namun, tindakan ini sering kali memicu kontroversi karena ada pihak yang menganggapnya sebagai bentuk keberpihakan terhadap salah satu bakal paslon. Oleh karena itu, pemerintah daerah cenderung berhati-hati dalam menindak reklame bakal paslon untuk menghindari tuduhan ketidaknetralan.
4. Implikasi Sosial: Pengaruh Reklame Bakal Paslon terhadap Persepsi Masyarakat
Maraknya reklame bakal paslon di berbagai sudut kota berdampak langsung pada persepsi masyarakat. Bagi bakal paslon, sosialisasi melalui reklame ini merupakan cara efektif untuk membangun kesadaran publik dan memperkenalkan diri. Namun, bagi sebagian masyarakat, keberadaan reklame ini justru menimbulkan kebingungan dan kesan bahwa bakal paslon “mencuri start” dalam berkampanye.
Pengaruh reklame bakal paslon terhadap preferensi masyarakat juga tidak bisa diabaikan. Dalam situasi di mana masyarakat belum banyak mengenal kandidat, keberadaan reklame dengan wajah dan slogan bakal paslon dapat mempengaruhi opini publik, terutama jika calon tersebut sering terlihat di lokasi strategis. Meskipun Bawaslu tidak dapat menindak secara langsung, persepsi masyarakat dapat berubah hanya dengan sering melihat gambar atau slogan tertentu.
Maraknya reklame bakal paslon ini juga memicu diskusi di masyarakat mengenai keadilan dalam pemilu. Bakal paslon dengan dana besar memiliki kemampuan untuk memasang reklame di berbagai lokasi, sementara kandidat dengan dana terbatas mungkin tidak bisa melakukan hal yang sama. Hal ini menciptakan ketimpangan yang secara tidak langsung bisa memengaruhi hasil akhir Pilkada.
Kesimpulan
Fenomena reklame bakal paslon Pilkada menunjukkan adanya celah dalam regulasi pemilu yang memungkinkan sosialisasi diri dilakukan sebelum masa kampanye. Ketidakmampuan Bawaslu untuk menindak reklame ini bukan karena kurangnya kemauan, tetapi karena belum adanya payung hukum yang tegas untuk mengatur “sosialisasi” bakal paslon di luar masa kampanye resmi. Situasi ini menjadi tantangan dalam upaya menjaga prinsip pemilu yang adil dan berimbang.
Untuk ke depan, pemerintah bersama penyelenggara pemilu perlu mempertimbangkan peraturan yang lebih jelas terkait aktivitas sosialisasi bakal paslon di masa prapemilu. Dengan adanya aturan yang lebih tegas, diharapkan sosialisasi bakal paslon bisa diatur agar tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat. Selain itu, aturan ini juga dapat mendorong persaingan yang lebih adil antara bakal paslon dalam Pilkada.
Selama regulasi tersebut belum ada, reklame bakal paslon kemungkinan akan tetap marak setiap kali musim Pilkada tiba. Bagi masyarakat, penting untuk menyikapi fenomena ini dengan bijak dan tidak terpancing hanya oleh sosialisasi diri bakal paslon, tetapi juga mencari informasi lebih dalam tentang setiap calon untuk menentukan pilihan terbaik.