bestmedia.id – Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, belakangan ini menyuarakan pandangan mengenai efektivitas operasi tangkap tangan (OTT) sebagai metode utama pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurut Tanak, OTT yang sering dilakukan oleh KPK tidak selalu mencerminkan keberhasilan dalam memerangi korupsi. Bahkan, menurutnya, jika OTT sering dilakukan, hal itu bisa menjadi indikasi bahwa sistem birokrasi masih belum berjalan dengan baik. Oleh karena itu, ia mengusulkan agar digitalisasi menjadi solusi jangka panjang dalam pencegahan korupsi.
Digitalisasi untuk Pencegahan Korupsi
Tanak sepakat dengan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, yang sebelumnya menyatakan bahwa OTT bisa memberikan kesan buruk bagi citra Indonesia di mata dunia. Luhut berpendapat bahwa penerapan sistem digital dalam birokrasi dapat mengurangi celah terjadinya korupsi. Dengan penggunaan teknologi digital, misalnya melalui e-katalog dan digitalisasi birokrasi lainnya, akan semakin sulit bagi individu untuk melakukan korupsi secara sistematis.
Pandangan ini sejalan dengan konsep bahwa pencegahan adalah strategi yang lebih baik daripada penindakan. Menurut Tanak, penerapan teknologi informasi dapat meningkatkan transparansi dan efisiensi dalam pengelolaan administrasi negara. Jika sistem digital dapat diandalkan, celah untuk korupsi dapat ditekan sejak awal, sehingga kebutuhan akan OTT dapat berkurang secara signifikan.
Pro dan Kontra Terhadap Pengurangan OTT
Tentu saja, usulan untuk mengurangi OTT bukan tanpa kontroversi. Banyak pihak yang berpendapat bahwa OTT adalah alat yang sangat efektif untuk membongkar jaringan korupsi yang besar dan kompleks. KPK telah membuktikan keberhasilannya dalam menangani sejumlah kasus besar melalui operasi tangkap tangan yang mengejutkan. Hal ini dianggap sebagai bukti nyata dari keberanian KPK dalam menindak para koruptor.
Namun, Tanak menegaskan bahwa pernyataannya bukan berarti ingin menghentikan OTT sepenuhnya. Ia hanya ingin agar pendekatan pencegahan, seperti digitalisasi, mendapat perhatian lebih besar. Dalam beberapa kasus, OTT bisa menjadi langkah terakhir ketika metode pencegahan telah gagal. Artinya, langkah represif seperti OTT masih diperlukan, tetapi tidak sebagai satu-satunya solusi.
Tantangan Digitalisasi di Indonesia
Meskipun digitalisasi dianggap sebagai solusi yang ideal, penerapannya di Indonesia tidak lepas dari tantangan. Infrastruktur digital yang belum merata dan rendahnya literasi teknologi di beberapa wilayah menjadi hambatan utama. Selain itu, korupsi sistemik yang sudah mengakar juga dapat menghambat upaya digitalisasi ini. Tanak dan Luhut sama-sama menyadari bahwa transisi menuju sistem digital tidak akan mudah dan memerlukan komitmen semua pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil.
Keberlanjutan OTT dan Digitalisasi
OTT memang telah menunjukkan hasil signifikan dalam menangkap pelaku korupsi, tetapi pendekatan pencegahan yang efektif akan mengurangi kebutuhan akan penindakan hukum yang intensif. Dalam konteks ini, Johanis Tanak mengusulkan agar KPK berfokus pada pengembangan sistem yang mampu meminimalkan peluang terjadinya korupsi sejak awal. Upaya ini diharapkan dapat mengurangi citra negatif yang mungkin muncul akibat OTT yang terus-menerus dilakukan.
Namun, di sisi lain, KPK tetap harus menjaga keseimbangan antara tindakan pencegahan dan penindakan. Kombinasi antara digitalisasi birokrasi dan penindakan yang tepat sasaran dianggap sebagai langkah yang paling efektif untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Jika digitalisasi dilakukan dengan benar, peluang bagi koruptor untuk memanfaatkan celah birokrasi akan semakin kecil, dan Indonesia dapat bergerak menuju sistem pemerintahan yang lebih transparan.
Kesimpulan
Pandangan Johanis Tanak mengenai pentingnya mengurangi OTT dengan meningkatkan digitalisasi birokrasi adalah langkah yang sejalan dengan modernisasi pemerintahan. Fokus pada pencegahan melalui teknologi informasi diharapkan dapat mengurangi frekuensi OTT, yang kerap dipandang sebagai bukti lemahnya sistem birokrasi. Namun, tantangan dalam mewujudkan digitalisasi yang merata dan efektif masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu segera diselesaikan. Kombinasi antara pencegahan berbasis teknologi dan tindakan represif yang terukur diyakini akan menciptakan strategi pemberantasan korupsi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan di Indonesia.